Sherin menggigit-gigit ujung sedotan sambil melirik sekilas kearah sekitar kantin dengan raut muka kebingungan. Dilihat beberapa siswa asyik makan, ngobrol, dan ngerumpi bareng temen atau pasangan masing-masing. Namun tidak didapati olehnya sosok cowok yang sudah 2 minggu pekan tidak terlihat batang hidungnya. Siapa lagi kalau bukan Dwiko, pacar kesayangan Sherin yang sudah 3 tahun menjalin hubungan.
Jus mangga yang diminum Sherin nyaris habis. Meski begitu lain halnya dengan makanan yang ia pesan. Sudah satu jam lebih mie bakso ayam pesanan Sherin tersimpan rapi di atas meja kantin. Harum wanginya saja sudah menghilang dimakan angin. Dingin mulai menyelimuti tebalnya mie dan bakso. Sedikitpun makanan tak dimakan oleh Sherin. Padahal sudah dari kemarin Sherin kangen berat dengan mie bakso ayam buatan Pak Dobleh. Rasa rindu yang sekarang menyelinap di hati Sherin. Lamunan pun mengelilingi pikirannya.
“Sher!?”
Tidak ada jawaban.
“Sherin”
Juga tidak ada jawaban.
“Sheriiiiin!!!”
Teriak Berlin kesal.
“Uh, berisik tahu.” Sherin tersentak dari lamunannya.
“Habisnya aku manggil-manggil kamu kagak nyahut. Kamu ngelamun?” Tanya Berlin heran.
“Nggak kok.” Jawab Sherin tak mau pusing.
“Udah jujur aja, raut muka kamu itu udah nunjukin kalau kamu ada masalah. Jujurlah padaku....” Canda Berlin nyengir sambil nyanyi lagu Raja.
Sherin mendadak terdiam. Nafasnya berubah mendesah seperti orang yang tak lagi punya semangat hidup. Nyanyian Berlin pun tidak membuat ia tersenyum.
“Tuhkan ngelamun lagi.” Cetus Berlin bingung.
“Ber, Hari ini kamu lihat Dwiko nggak?” Tanya Sherin penuh harapan.
“Nggak tuh. Bukannya kamu ceweknya.”
“Kalau aku tahu nggak mungkin aku nanya kamu.”
“Kalian lagi berantem ya?”
“Terakhir ketemu kami nggak ada masalah apa-apa. Tapi udah 2 minggu ini kami bener-bener lost contact. Tiap kali disms nggak dibales, ditelpon juga nggak diangkat. Aneh kan?”
“Kalau ketemuan pasti udah dong?”
“Boro-boro ketemu liat bulu matanya aja belum.”
“Mungkin dia sibuk, setahu aku dia jadi ketua pelaksana Pensi 2011 di sekolah kita.”
“Kalau sibuk, apa mesti sampai lupa pacarnya?”
“Ehm, nggak juga sih.” Gumam Berlin dengan alis terangkat satu centi. “Gimana kalau nanti sehabis sekolah kita ke kelasnya, kali aja dia belum pulang.
“Ide bagus tuh. Tapi kayanya hari ini aku nggak bisa. Nanti siang aku harus menghadap Bu Serly. Beliaukan gurunya disiplin waktu, takutnya kalau kesorean pas ke ruangannya tar di comment abis-abisan.”
“Oh iya ya. Berarti aku sendiri dong.”
“Mesti gimana lagi, hanya kamu yang bisa nolong aku.” Pinta Sherin memelas.
“Ehm, Iya deh, apa sih yang nggak buat sahabatku ini.”
“Oh iya kalau bisa pas dia pulang sekolah pergokin juga ya.”
“Wah, mang gue detektif.”
“Ayolah. Pleass!!!”
“Gimana ya?” Pikir Berlin seolah-olah jadi mata-mata pribadi Sherin.
“Okay deh.”
“Terimakasih Sobatku. Kamu bener-bener imut deh.” Puji Sherin sebari mencibir pipi Berlin yang kempot tak bertulang itu.
***
Pagi-pagi sekali Sherin berangkat sekolah dengan penuh semangat. Berharap Berlin dapat membawa kabar baik tentang Dwiko. Tidak sabar rasanya bagi Sherlin ingin bertemu Dwiko dengan canda, tawa, dan gombalnya.
Sesampai di sekolah tanpa ingin berlama-lama di kelas, Sherin berdiri di depan gerbang sekolah. Ia memerhatikan orang-orang yang hendak masuk ke dalam kelas. Belum dilihatnya sosok Berlin pagi ini.
Bukan main kagetnya. Mata Sherin mendadak terbelalang. Ia melihat mobil Dwiko lewat masuk menuju parkiran. Ia pun mengejap-ngejapkan mata. Keringat dingin mulai mengucur di keningnya. Nafasnya mulai tersendat dan jantungnya berdebar cepat. Bagaimana tidak, harapan Sherin tuk bertemu Dwiko akhirnya terkabul. Ketika menghampiri, Sherin dikejutkan dengan orang yang ada di dalam mobil Dwiko. Dilihatnya dari belakang mobil Dwiko bersama perempuan berambut panjang yang duduk didepan bersebelahan. Parahnya lagi mereka saling berpegangan tangan.
Perasaan hati Sherin terluka. Serasa sebilah pisau tajam telah melubanginya. Namun Sherin berusaha menahan rasa sakit itu. Kebencian muncul setelah apa yang dilihatnya. Untuk kesekian minggu Sherin menunggu, ternyata inilah jawabannya.
Sherin berlari keluar ke taman belakang Sekolah. Isak tangis dan tetesan air mata masih mengguyur di kelopak matanya. Dadanya sesak. Namun ia tetap berlari sekuat tenanga.
Ia terdiam sambil duduk di atas rumput taman. Pikirannya tak menentu. Emosi dalam diri meluap-luap. Kesal, kecewa, dan marah bercampur jadi benci.
Seseorang meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Sherin dari belakang. Terlintas dipikirannya tangan Dwiko yang ada pada saat itu.
“Sher, kamu nangis?” Terdengar suara Berlin penuh tanda tanya.
“Berlin.” Kedua tangan Sherin bergegas memeluk erat tubuh Berlin sebari menangis tersedu-sedu.
“Kamu kenapa?”
Air mata Sherin sesekali menetas. Suara isak pun mulai terhenti.
“Pengkhianat.”
“Loh, siapa yang udah ngekhianatin kamu.”
“Jahat.”
“Sher, coba lihat mata aku. Kamu ambil nafas, biarkan tubuh kamu relax. Baru kamu cerita sama aku. Ada apa? Dan siapa yang pengkhianat dan Jahat?” Perlahan-lahan tangan Berlin mengangkatkan kepala Sherin. Berlin tersenyum berharap Sherin akan kembali stabil.
“Dwiko, Dwiko udah ngekhianatin aku. Tadi waktu di parkiran aku lihat dia bawa cewek naik mobil. Pas aku lihat mereka mesra banget. Dan disitu aku mulai kesal. Kamu bisa ngerasainkan gimana sakitnya aku.”
“Iya, aku ngerti. Tapi dengan menangis, kamu jadi galau seperti ini. Mungkin cewek itu teman atau bahkan saudaranya.”
“Entahlah siapa pun dia, aku nggak terima Dwiko bareng jalan cewek lain.”
“Nanti aku coba ngomong sama Dwiko dan dia harus jelasin ini semua. Kamu sabar ya.”
Tangan Berlin mengelus-elus pundak Sherin. Detak jantung Sherin mulai kembali normal. Dadanya tidak terasa sesak lagi.
“Sekarang usap air mata kamu. Alangkah baiknya kalau kita masuk kelas soalnya jam belajar sudah mulai.”
“Tapi Ber,,,.”
“Aku janji ko bakal bantuin kamu. Kalau perlu nati pas ketemu Dwiko, wajahnya yang ganteng itu ku obrak-abrik jadi jelek.” Canda Berlin sambil menyenangkan hati Sherin.
***
“Hy Chika.” Sapa Dwiko sebari senyum simpul.
“Hy Kak.” Balas Chika pelan.
“Gimana tadi dikelas, teman-temannya pada baik kan?”
“Baik-baik ko kak. Malah Chika udah punya teman baru.”
“Wah, bagus dong. Nanti kalau ada yang jailin atau gangguin kamu bilang kak Dwiko.” Ucap Dwiko penuh perhatian.
Pada saat itu Berlin baru keluar dari pintu kelas XII B. Dilihatnya Dwiko bersama cewek yang belum ia ketahui asal-usulnya. Percakapan Dwiko dan Chika diluar kelas terdengar Berlin. Ia tidak habis pikir apa jadinya kalau Sherin melihat kemesraan mereka. Ternyata dugaan Sherin benar mereka terlihat orang yang sedang pedekate.
Dengan raut wajah marah, Berlin mendekati Dwiko dengan emosi. Segenggam tangan hampir mengenai muka Dwiko.
“Oh, jadi setelah ketemu cewek cantik lo lupain Sherin. Selingkuh dengan cewek ini dengan sok-sok ngasih perhatian. Kurang ajar lo.” Bentak Berlin kesal.
“Maksud kamu apa?”
“Sudah cukup kamu ngecewain Sherin sahabat aku. Dan sekarang kamu selingkuh dibelakngnya.”
“Tenang Ber, tenang!”
“Gimana mau tenang, melihat kamu asyik bermesraan sama cewek lain itu sudah buat Sherin terluka.”
Dwiko tak membalas celotehan Berlin. Kepalanya yang besar terus menggeleng-geleng. Ia tidak tampak marah setelah dapat ejekan kasar dari Berlin. Ia mengangguk-ngangguk dan tersenyum lebar. Diberikannya sepucuk surat ungu dari Dwiko.
“Aku harap kamu bisa ngasih surat ini kepada Sherin.”
“Surat apa ini?”
“Entar juga tahu. Surat ini jawaban dari semua masalah ini.”
“Gue bukan orang yang gampang ditipu.”
“Pokoknya cuman surat ini yang bisa aku berikan sama Sherin sekarang.”
***
Sherin celingak-celinguk di depan Berlin. Secercak surat ungu yang digenggam Berlin diberikan pada Sherin. Warna ungu pertanda buruk baginya. Sherin menebak-nebak, mungkin itu surat pernyataan putus dari Dwiko. Sherin mengambil surat yang belum dibukanya. Ia segera membaca surat itu.
Teruntuk: Sherin
Besok Pukul 11.01 WIB lewat 18 detik, aku tunggu kamu di acara Pensi Sekolah. Tidak akan berkesan tanpa kehadiranmu.
Sherin bingung setengah mati. Ia sebenarnya tidak tahu maksud daripada surat Dwiko. Entah apa yang yang terjadi, jika ternyata Dwiko mutusin Sherin depan anak-anak sekolah. Rasanya Sherin belum begitu siap menerima ini semua.
“Dwiko tulis apa untuk kamu?” Tanya Berlin sambil bergegas mengambil surat. Dibacanya perlahan surat itu dengan pikiran bertanya-tanya.
“Menurut kamu, aku mesti dateng ke acara pensi besok nggak.”
“Saran aku datang aja ke acara pensi nanti.”
“Kalau ternyata Dwiko mutusin aku gimana?”
“Apapun yang terjadi besok, aku yakin kamu bisa hadapi. Jadi jangan berputus asa.”
Keesokan paginya tepat pukul 09.00 WIB acara Pensi 2011 SMA Negeri 20 Bandung dimulai. Teriakan anak-anak SMAN 20 benar-benar memekakkan telinga. Orang-orang berbondong-bondong mendekati panggung dengan wajah senang. Bintang tamu kali itu adalah Sheila on7. Empat sampai lima lagu Sheila on7 nyanyi diatas pangung.
Jam menunjukan pukul 11.01 WIB. Dwiko segera meminta izin kepada untuk mengambil alih acara. Dan saat itupun Sherin sudah ada diantara kerumunan penonton menyaksikan aksi band Sheila on7.
“Teman-teman mohon perhatiannya sebentar. Maaf mengganggu waktu senangnya kalian. Hari ini tepat tanggal 11 Januari 2011, aku Dwiko Andika terlepas dari ketua pelaksana akan mengumumkan suatu perihal penting. Mungkin buat kalian ini tidaklah berarti penting, namun buat hidup saya teramat penting. Untuk kedua kalinya aku mau nembak seorang gadis cantik yang sekarang berulang tahun dan kepada Chika dimohon ke depan.”
Sherin yang berada di tengah lapangan terdiam. Ia tidak bisa percaya ternyata Dwiko mau menembak Chika di depan mataku sendiri. Tak hanya itu di depan anak-anak pula.
Dwiko jahat, dasar pengkhianat. Kedatanganku hanyalah buatku sakit hati jadinya. Pekik Sherin dalam hati. Ia segera berbalik badan dan mulai berjalan menjauhi keramaian Pensi. Namun pada saat yang bersamaan Dwiko mengutarakan hatinya.
“Untuk Sherin tersayang, maafkan aku sudah membuat kamu salah paham. Mungkin ini karena ide bodohku yang sengaja ku bikin supaya kamu marah, kesal, dan benci padaku. Chika bukanlah orang yang spesial dihatiku karena dia saudara sepupuku. Ketidakberadaanku selama 2 minggu itu hanya taktikku saja untuk menguji berapa besar cintamu padaku. Namun semua ini kulakukan karena ingin memberi surprise dihari ulang tahunmu yang ke 18 tahun.”
Sherin tertegun mendengar kata-kata Dwiko. Kata-kata itu menyadarkan dirinya betapa Dwiko tulus setia memcintai Sherin. Keheningan sejenak terasa diacara pensi. Namun kesunyian menjadi pecah setelah Dwiko menyanyikan Happy Birthday untuknya. Teman-teman di sana serempak sorak ikut bernyanyi seakan-akan sudah mendapat perintah dari Dwiko.
Dwiko yang dari atas panggung sengaja turun untuk memberikan kue ulang tahun. Ia tidak berhenti bernyanyi. Hingga akhirnya Sherin menoleh dan berbalik badan. Ditiupnya kue itu tepat berada di depannya. Senyum bahagia tersirat jelas di wajah Sherin.
“Dasar bodoh.”
“Loh kenapa bodoh?”
“Hampir saja sikap kamu membuat aku benar-benar benci kamu.”
Sherin tidak percaya. Semua itu terlalu rumit tapi berakhir indah. Serta-merta, sebutir air mata mengalir sepanjang pipi Sherin dan jatuh ke pelukan Dwiko.
MC pun mengambil acara dan berteriak mengucapkan selamat ulang tahun pada Sherin. Tanpa menunggu lama Sheila on7 menyanyikan lagu berjudul “Buat Aku Terseyum”. Lagu ini khusu dipeialkan untuk Sherin dan Dwiko, moga langgeng hubungannya. Dan Selamat ulang tahun buat Sherin. Ucap vokalis Sheila on7 seraya menyanyi.
created by: Indriati Sari Kusmayani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar